JAKARTA. Center on Reform of Economics (CORE) menilai, Indonesia belum punya
strategi jitu untuk mengantisipasi tenaga kerja asing yang akan bebas bekerja
di dalam negeri seiring diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
Pemerintah yang masih berkuasa maupun partai politik peserta pemilihan umum
belum menganggap isu masuknya tenaga kerja asing sebagai tantangan, bahkan ancaman
bagi tenaga kerja domestik.
Ekonom CORE Hendri Saparini menyebut, perusahaan di Indonesia, terutama asing,
tentu akan memilih skilled workers dari luar negeri dibanding
Indonesia, terutama dalam hal kemampuan Bahasa Inggris.
"Faktanya, 80% penganggur di Singapura lulusan perguruan tinggi.
Indonesia, begitu dibuka MEA, bisa kalah," ujarnya dalam seminar
ketenagakerjaan di Jakarta, Kamis (27/3).
Pada 2013, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan izin
mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) bagi 68.957 pekerja yang tersebar di
bidang pertanian, industri, serta perdagangan dan jasa.
Para pekerja asing tersebut berasal dari Republik Rakyat Tiongkok, Jepang,
Korea Selatan, India, Malaysia, Amerika Serikat, Thailand, Australia, Filipina,
Inggris, dan sejumlah negara lain. Level jabatan yang diduduki pun bervariasi,
dari teknisi, supervisor, profesional, konsultan, manajer, direksi, hingga
komisaris.
Sebelumnya, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala
Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana sepakat bahwa masih banyak pekerjaan rumah
Indonesia dalam menyambut MEA 2015. "Kita di level skilled workers di
semua tingkatan, kita masih kurang," ujarnya di Kementerian PPN/Bappenas,
Jakarta (26/3).
Namun, Armida memastikan, pemerintah akan terus berusaha meningkatkan kemampuan
pekerja Indonesia dengan pemberian sertifikasi dan pelatihan intensif.
Namun, tak hanya soal pekerja terampil yang patut dianggap sebagai ancaman.
Menurut Hendri, pekerja kasar dari India dan Bangladesh akan mau migrasi ke
Indonesia karena negaranya tengah krisis dan menerima dibayar lebih kecil
dibanding tenaga kerja dalam negeri.
Daya saing pekerja Indonesia juga akan melemah karena pengusaha tergiur
mempekerjakan tenaga kerja asing karena tak harus menaati Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Pemerintah harus tentukan mana yang prioritas, sediakan siapa yang harus
memberikan sertifikasi," ujar Hendri. Selain itu, Indonesia juga bisa
melongok sejumlah kebijakan dan sertifikasi yang diterapkan negara ASEAN lain
agar pekerja Indonesia setidaknya mampu menjadi setara dengan pekerja di negeri
tetangga.
Seperti diketahui, MEA 2015 membuka peluang bagi pekerja untuk terjun di 12
sektor pasar bebas, yang terdiri atas 5 sektor jasa dan 7 sektor perdagangan/industri.
Kelima sektor jasa tersebut adalah transportasi udara, e-asean, pelayanan
kesehatan, turisme dan jasa logistik. Sedangkan 7 sektor perdagangan/industri
terdiri atas produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis
karet, tekstil, otomotif, dan produk berbasis kayu.
Dari 12 sektor tersebut, ada 8 bidang di 8 bidang ketenagakerjaan seperti
insinyur, perawat, arsitek, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi medis,
dokter gigi dan akuntan. Kedelapan bidang tersebut sudah mencapai mutual
recognition agreement (MRA), yakni sertifikasi kompetensi kerja yang paling
diakui di sesama negara ASEAN.
Selasa, 15 Juli 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar