by
Supply Chain Indonesia / Tuesday,
20 May 2014 / Published in Artikel, Logistik Agrobisnis
Oleh: Dr. Tomy Perdana S.P., M.M. |
Senior Consultant at Supply Chain Indonesia & Dosen dan Ketua Laboratorium
Agribisnis UNPAD
Dalam waktu dekat, masyarakat Indonesia akan menghadapi tantangan baru yakni era masyarakat ekonomi ASEAN. Dalam era tersebut akan terjadi pasar tunggal dan basis produksi yang meliputi 10 negara ASEAN dengan jumlah penduduk sekitar 565 juta orang. Kesepuluh negara ASEAN tersebut adalah Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura. Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar, Filipina. Selain itu, masyarakat ekonomi ASEAN memiliki 6 negara mitra, yakni China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru. Dengan demikian, masyarakat ekonomi ASEAN plus 6 mitra akan memiliki pasar tunggal yang sangat besar, yakni di atas 3 milyar penduduk.
Pasar tunggal dan basis produksi
masyarakat ASEAN plus 6 negara mitra akan berimplikasi pada terjadinya aliran
bebas lima komponen ekonomi, yakni : aliran bebas barang, aliran bebas jasa,
aliran bebas modal, aliran bebas investasi dan aliran bebas tenaga kerja
terdidik. Dengan demikian, diharapkan kawasan ASEAN akan menjadi suatu kawasan
perekonomian yang berdaya saing, terintegrasi dengan ekonomi global serta
memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kondisi tersebut menyebabkan setiap
negara ASEAN plus 6 negara mitra berlomba untuk meningkatkan kapasitas ekonomi
negaranya agar mampu memanfaatkan potensi yang muncul dari implementasi
masyarakat ekonomi ASEAN tersebut. Harapannya adalah masyarakat ekonomi ASEAN
akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian setiap negara yang
terlibat, yang ujungnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setiap
negara ASEAN.
Namun, diduga negara yang memiliki
kapasitas ekonomi yang lebih rendah daya saingnya dibandingkan negara lainnya
akan menerima dampak negatif dari implementasi masyarakat ekonomi ASEAN
tersebut. Dampak negatif tersebut diantaranya adalah meningkatnya jumlah barang
impor pada suatu negara, penguasaan sumberdaya lokal oleh pelaku ekonomi asing
serta meningkatnya jumlah tenaga kerja asing di suatu negara.
Indonesia merupakan salah satu
negara ASEAN dengan potensi pasar terbesar dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya, yakni sekitar 250 juta orang atau hampir separuh jumlah penduduk 10
negara ASEAN. Dengan demikian, potensi pasar yang besar tersebut akan menjadi
daya tarik bagi pelaku ekonomi negara ASEAN lain untuk menjadikan Indonesia
sebagai target pasar bagi barang, jasa, modal, investasi dan tenaga kerja.
Di sisi lain, dengan kapasitas
ekonomi dan sumberdaya yang dimiliki saat ini, Indonesia berpotensi
memanfaatkan masyarakat ekonomi ASEAN tersebut sebagai target pasar bagi barang
dan jasa yang dihasilkan di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia
perlu mempersiapkan sektor unggulan atau prioritas dalam menghadapi implementasi
masyarakat ekonomi ASEAN pada tahun 2015 tersebut.
Salah satu sektor yang diunggulkan
Indonesia dalam menghadapi era masyarakat ekonomi ASEAN adalah sektor
agribisnis yang meliputi sektor pertanian plus manufaktur berbasis hasil
pertanian dan pemasaran. Pemilihan sektor tersebut karena faktor kapasitas
sumberdaya agribisnis Indonesia yang berlimpah, seperti iklim tropis yang
memungkinkan sebagian tanaman berproduksi sepanjang waktu, luas areal pertanian
yang luas serta jumlah sumberdaya manusia yang bekerja pada sektor pertanian
yang cukup banyak. Selain itu, faktor utama pemilihan agribisnis sebagai sektor
unggulan adalah jumlah penduduk Indonesia yang cukup banyak sebagai potensi
pasar domestik bagi produk agribisnis yang dihasilkan. Pasar agribisnis domestik
berpotensi untuk terus tumbuh sejalan dengan peningkatan perekonomian nasional.
Namun demikian, saat ini sektor
agribisnis Indonesia memiliki kinerja yang kurang menggembirakan, diantaranya
adalah semakin meningkatnya impor pangan utama (kedelai, daging sapi, gula,
sayuran dan buah) serta menurunnya kinerja ekspor komoditas pertanian,
diantaranya adalah teh dan produk hortikultura. Secara khusus untuk sayuran dan
buah, Indonesia banyak melakukan impor dari negara tetangga di ASEAN plus
negara mitranya, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Myanmar, Cina dan
Australia. Sebagai contoh, pada tahun 2012, Indonesia mengimpor sayuran dari
Thailand senilai US$ 23,07 juta, dari Myanmar senilai US$ 37,9 juta serta dari
Cina senilai US$ 304,85 juta.
Selain itu, menurut Wilkinson dan
Rocha dalam buku “Agro-Industries for Development” yang diterbitkan FAO dan
CABI pada tahun 2009, subsistem manufaktur dan pemasaran berbasis pertanian
Indonesia belum menunjukkan kinerja yang optimal. Hal tersebut dapat terlihat
dari rasio perbandingan antara subsistem pertanian dengan subsistem menufaktur
dan pemasaran berbasis hasil pertanian Indonesia sebesar 1.65. Kondisi tersebut
lebih rendah dibandingkan dengan Thailand yang memiliki rasio 3.91, apalagi
menjadi jauh lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki
rasio 13.0.
Rendahnya kinerja sektor agribisnis
Indonesia tersebut disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
- Keterkaitan subsistem pertanian (budidaya) dengan manufaktur dan pemasaran yang rendah. Data statistika pertanian menunjukkan produksi hasil pertanian Indonesia yang sangat banyak, namun pada saat yang sama sebagian manufaktur (agroindustri) menggunakan bahan baku impor. Demikian halnya juga dengan semakin meningkatnya jumlah hasil pertanian impor di pasar ritel. Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya ketidakterkaitan (disconnected) antara produksi (budidaya) dengan manufaktur dan pemasaran berbasis hasil pertanian. Umumnya ketidak terkaitan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan subsistem produksi untuk memenuhi permintaan manufaktur dan pemasaran seperti kesinambungan ketersediaan produk, kualitas produk serta harga produk yang bersaing.
- Biaya logistik pertanian yang tinggi (di atas 15 % dari biaya total). Kondisi tersebut disebabkan oleh infrastruktur logistik pertanian dari sentra produksi ke pusat konsumen tidak dalam kondisi yang baik serta tidak lengkap. Kondisi infrastruktur logistik pertanian tersebut menyebabkan tingkat kehilangan hasil dalam proses logistik yang tinggi sehingga diperhitungkan sebagai biaya logistik yang dibebankan kepada konsumen. Sebagai contoh, jalan yang rusak dan tidak adanya sistem logistik berpendingin dari sentra produksi sayuran di Sumatera Utara dan Jawa Barat mengakibatkan tingkat kehilangan hasil sayuran pada saat proses logistik sebesar kurang lebih 30 %. Logistik pertanian tidak hanya berfungsi untuk penyimpanan dan penghantaran, tetapi juga berfungsi untuk mempertahankan (preservation) kualitas produk pertanian.
- Rendahnya efektifitas penelitian dan pengembangan (litbang) pertanian di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah dan universitas yang sedikit diadopsi oleh pelaku usaha agribisnis. Kondisi tersebut disebabkan oleh kurangnya kerjasama litbang antara pemerintah dan universitas sebagai peneliti dengan pelaku usaha agribisnis sebagai pengguna.
- Kurangnya dukungan pembiayaan pertanian dari perbankan dan non perbankan. Kondisi ini terjadi karena lembaga pembiayaan tidak memahami manajemen resiko pertanian atau agribisnis. Selama ini, lembaga pembiayaan hanya memahami manajemen resiko keuangan yang tidak dikaitkan dengan manajemen resiko pertanian atau agribisnis.
- Tidak efektifnya tata kelola kelembagaan agribisnis dari mulai level produsen, rantai pasok (supply chain), kawasan (klaster) sampai dengan makro (kebijakan). Karakteristik pertanian atau agribisnis Indonesia yang didominasi pelaku kecil membutuhkan tata kelola kelembagaan agribisnis berupa model bisnis inklusif yang tepat sehingga terjadi sistem agribisnis yang ramping, responsif dan berkeadilan.
- Belum terbangunnya kesadaran untuk menerapkan sistem manajemen keamanan pangan yang terintegrasi dari level produsen, manufaktur dan pemasaran berbasis hasil pertanian. Saat ini berkembang tuntutan dari pembeli luar negeri terhadap pelaku agribisnis Indonesia untuk menerapkan berbagai skema keamanan pangan dari mulai cara berbudidaya yang benar (good agriculture practices), cara penanganan hasil yang benar (good handling practices), HACCP (hazard analytical critical control point), ISO 22000, kemamputelusuran dan perikehewanan (traceability and animal welfare), SPS (sanitary and phitosanitary) serta lainnya.
Dalam menghadapi implementasi
masyarakat ekonomi ASEAN pada tahun 2015 diperlukan berbagai upaya sistematis
untuk mengatasi berbagai persoalan yang menyebabkan rendahnya kinerja sektor
agribisnis Indonesia. Beberapa upaya sistematis tersebut diantaranya adalah :
- Pengembangan kolaborasi multi pemangku kepentingan yang dikenal dengan “triple helix model” (interaksi antara pelaku agribisnis, pemerintah dan universitas) pada suatu aglomerasi basis produksi dan jejaring rantai pasok pertanian (klaster agribisnis). Kolaborasi tersebut diawali dengan adanya kebutuhan atau permintaan pasar dari pelaku manufaktur dan pemasaran yang difasilitasi oleh universitas dan pemerintah dalam bentuk pendampingan intensif kepada para produsen.
- Pengembangan sistem logistik pertanian yang terdiri atas infrastruktur, tata kelola atau kelembagaan, layanan jasa logistik serta pelaku logistik. Sistem logistik pertanian tersebut harus mampu menghubungkan secara efektif dan efisien klaster agribisnis di perdesaan dengan pusat konsumen di dalam negeri ataupun di luar negeri. Sistem rantai pendingin menjadi prasyarat dalam pengembangan sistem logistik pertanian tersebut.
- Reorientasi penelitian dan pengembangan pertanian yang dilakukan pemerintah dan universitas di Indonesia dari “orientasi peneliti” menjadi “orientasi pengguna”. Dengan demikian, perumusan masalah penelitian dilakukan secara bersama (kolaborasi) dengan para pengguna, seperti petani, agroindustri dan pemasar hasil pertanian. Kolaborasi penelitian tersebut mendorong kontribusi aktif dari para pengguna dalam bentuk inkind atau in cash.
- Peningkatan kapasitas lembaga pembiayaan (perbankan dan non perbakan) dalam manajemen resiko pertanian atau agribisnis yang diintegrasikan dengan manajemen resiko pembiayaan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pelibatan lembaga pembiayaan dalam pengembangan klaster agribisnis.
- Restrukturisasi tata kelola kelembagaan agribisnis dimulai dari tata kelola kelembagaan pangan nasional, yakni kementerian pertanian yang diubah menjadi kementerian pertanian dan agroindustri. Kementerian tersebut memiliki wewenang dari mulai produksi, industri primer berbasis hasil pertanian serta pemasaran atau perdagangan. Pada level produsen, rantai pasok dan klaster agribisnis dikembangkan model tata kelola agribisnis inklusif.
- Pengembangan sistem manajemen keamanan pangan dari mulai produsen sampai konsumen akhir (from farm to table).
Dalam skala percontohan, usulan
berbagai upaya sistematis di atas telah dilakukan di Jawa Barat melalui program
pengembangan klaster agribisnis cabai merah dan sayuran bernilai tinggi yang
menerapkan kolaborasi “triple helix model” dan model agribisnis inklusif. Sejak
tahun 2009, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat sebagai unsur pemerintah
telah bekerjasama dengan Universitas Padjadjaran, Bank Indonesia dan para
pelaku agribisnis, diantaranya adalah eksportir (PT. Alamanda Sejati Utama), agroindustri
(Heinz ABC), Syngenta Foundation USAID, kelompok tani, koperasi tani dan
lembaga lainnya. Program pengembangan klaster agribisnis tersebut telah mampu
meningkatkan kapasitas petani kecil dan eksportir untuk memenuhi permintaan
pasar ekspor, demikian halnya juga dengan permintaan pasar agroindustri.
Harapannya, percontohan pengembangan
klaster agribisnis tersebut dapat direplikasi ke daerah lain secara masif.
Upaya tersebut membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat serta pemangku
kepentingan lainnya. Diharapkan sektor agribisnis Indonesia memiliki kapasitas
daya saing yang tinggi dalam implementasi masyarakat ekonomi ASEAN pada tahun
2015. Dengan demikian sektor agribisnis Indonesia akan menjadi mesin
pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sumber: http://inspirasibangsa.com/tantangan-agribisnis-indonesia-menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean-2015/
0 komentar:
Posting Komentar