JAKPUS – Pembangunan mass rapid transit (MRT) masih macet
di kawasan Fatmawati. Sebab, warga yang terimbas proyek itu ngotot
meminta ganti rugi di atas tawaran pemprov.
Karena tidak ingin proyek angkutan
masal tersebut terus tertunda, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kemarin
(7/12) mengultimatum warga. Pemprov akan menempuh jalur hukum jika warga tetap
meminta kompensasi di luar kewajaran.
’’Kalau mentok, lalu dia meminta
harganya di atas harga dari tim appraisal, namanya pemerasan,’’ tegas
Ahok setelah mengikuti kegiatan di Monas (7/12).
Dia mengungkapkan, warga ngotot
meminta harga ganti rugi di atas nilai jual objek pajak (NJOP). Mereka juga
menekan pemerintah dengan mematok tarif sendiri. Karena itu, pemprov kini
berancang-ancang mengambil langkah hukum. Caranya, mengajukan konsinyasi ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Keputusan hakim diharapkan menjadi
jalan akhir untuk memaksa warga menerima harga NJOP atau hasil negosiasi.
’’Kalau mereka masih nggak mau juga, kami bongkar paksa. Saya sudah
perintahkan wali Kota Jakarta Selatan. Kalau lahannya nggak bisa juga
diganti, kami gunakan aparat untuk membongkar paksa,’’ kata dia.
Sementara itu, Direktur Utama PT MRT
Dono Boestami menjelaskan bahwa konstruksi proyek MRT tidak terganggu meski
negosiasi pembebasan lahan masih macet. Sebagai pelaksana proyek, kata dia, PT
MRT telah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk di lapangan. ’’Kami akan
tetap bekerja. Kan lokasinya nggak mesti di situ. Masih banyak
wilayah lain yang juga kami kerjakan,’’ tuturnya.
Menurut Dono, pembangunan bagian
konstruksi di kawasan Fatmawati bukan bagian yang harus segera dikerjakan.
Sebab, di daerah itu stasiun layang akan dibangun. Ada bagian lain yang justru
menjadi skala prioritas pekerjaan. Salah satunya adalah pembangunan depo di
Stadion Lebak Bulus. Untungnya, pengadaan lahan di sana tidak bermasalah.
’’Yang paling penting itu kan Stadion Lebak Bulus sudah nggak
bermasalah. Sebab, di situ depo pertama dan utama,’’ terang dia.
Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Tri
Djoko menambahkan, pembayaran ganti rugi lahan warga tidak selalu harus sesuai
dengan NJOP. Sebab, lumrah saja jika dalam negosiasi ada pihak yang memasang
harga jual di atas NJOP.
Hanya, lanjut dia, harga harus
ditentukan konsultan independen atau tim appraisal. Sebab, merekalah
yang merumuskan harga kewajaran di atas NJOP. Lalu, dua pihak harus
bermusyawarah untuk memutuskan menerima atau menolak. Namun, harga appraisal
tersebut berlaku enam bulan saja.
Pemerintah sebetulnya tidak
mempersoalkan besaran harga tanah. Sebab, kemampuan keuangan pemprov cukup
untuk membeli lahan warga. Tetapi, besaran harga wajib didasari kesepakatan
bersama dan ditandatangani dua pihak. Kesepakatan itulah yang kini tengah
diupayakan pemprov melalui dinas PU. ’’Kalau nggak ada dasar
kesepakatan, mau jawab apa kami kalau ditanya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)? Kan
bisa jadi temuan BPK akhirnya,’’ ujarnya.
Secara teknis, sebenarnya hanya
sebagian kecil warga yang terdampak proyek MRT. Mereka tinggal di pinggir area
yang akan dibuat depo.
Sementara itu, pemasangan tiang
pancang kereta di jalur tersebut tidak berimbas langsung pada bangunan warga.
Sebab, tiang fondasi rel MRT berada di tengah jalan. ’’Memang, yang krusial itu
kan lahan yang akan dibangun stasiun. Luas lahan kan 42 meter
untuk stasiun. Kalau yang tiang pancang, paling luas kolomnya 2 meter,’’ papar
Tri.
Lantas, siapa yang dirugikan bila
pemprov menempuh jalur konsinyasi? ’’Ya jelas warga. Sebab, mau nggak
mau, uang pembebasan lahan harus diambil di pengadilan. Konsinyasi merupakan
pintu masuk pemerintah untuk bongkar paksa,’’ tandasnya. (bad/co1/oni/c14/any)
0 komentar:
Posting Komentar